Hari Sabtu, 3 Mei 2008, aku berkesempatan mengikuti seminar bertema 'PUYER, QUO VADIS??" di aula FKUI Jakarta. Dalam seminar ini dibahas apakah penggunaan puyer itu sekarang masih relevan?? Padahal kalau menilik risk benefitnya itu lebih banyak risknya daripada benefit..Berikut laporan dari teman-teman yang mengikuti seminar ini. DIkutip dari update di milis sehat.Dari Ria (ria.ayu@......)Dear docs & sp's,Saya ingin sedikit melaporkan ttg seminar "Puyer, Quo Vadis?" hari initanggal 3 Mei 2008, yang ternyata artinya "Puyer, Mau dibawa ke mana?" Mohonmaaf jika bahasa tulisan saya kepanjangan dan kurang terstruktur denganbaik.Seminar Puyer ini adalah suatu momen yang sangat excited bagi saya karenainilah seminar pertama yang dihadiri oleh semua kalangan yang berkaitandengan pelaksanaan RUM (Rational Use of Medicines), yaitu HealthProfessional dalam hal ini dokter, calon dokter serta farmasis,Regulator/pemerintah dalam hal ini adalah perwakilan Direktur PenggunaanObat Rasional, Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat KesehatanDepartemen Kesehatan. Kemudian yang terakhir adalah konsumen kesehatan itusendiri yang diwakili oleh beberapa orang dari kalangan non medis (termasuksaya sendiri :D). Inilah yang membuat saya excited, karena selama initerkesan antara profesional kesehatan maupun institusi pendidikan kedokteranmembuat jarak dengan masyarakat awam. Seminar Puyer, Quo Vadis? mendobrakitu semua. Konsumen hadir untuk menyuarakan keprihatinannya atas penggunaanpuyer yang tidak sesuai guideline dan semakin meluas. Dokter mulai beranimengkoreksi diri sendiri, secara terbuka mengakui adanya missleading dalampraktek peresepan obat yang baik (Good Prescribing Praktice). Dan darifarmasis pun mulai mempertanyakan bagaimana seharusnya praktek farmasi yangbenar dan mengkritisi dokter atas hubungan prescriber dan pharmacyst yangkurang optimal dalam memberikan pelayanan kepada pasien.Walaupun demikian cukup disayangkan Direktur Penggunaan Obat Rasional dariDepKes tidak hadir dan hanya mewakilkan kepada rekan sejawatnya. Namunbolehlah kita berharap, semoga....semua pesan baik dari uraian panelismaupun pertanyaan dari peserta dapat tersampaikan kepada beliau. Yang jugacukup memberikan pencerahan adalah kehadiran dr. Mohammad Sjahjahan dari WHOutk Southeast AsiaRegion yang memaparkan data-data cukup mengejutkankalangan dokter sendiri dan mungkin juga masyarakat awam (non SP'shehehe...). Bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang masihmenggunakan puyer di Asia (aduhh saya lupa, jangan2 di seluruh duniaya...tolong koreksi ya SP's lain).Seminar dibuka dengan sambutan dari dr. Yoga (ketua panitia) yang sangatmenyentuh saya sebagai konsumen kesehatan. Bahwa masalah puyer bagi dokterlebih kepada masalah ego daripada kurangnya knowledge. Walaupun dr. Yogamenghimbau lebih kepada rekan sejawatnya, tapi kalimat2 beliau membuat sayalebih bertekad lagi untuk menjadi konsumen kesehatan yang rasional. It takestwo to tango, right?Prof. DR. dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK (Departemen Farmakologi, FKUI)menjelaskan tentang Good Prescribing Practice (GPP) dalam sesi pertamaseminar. GPP terutama berkaitan dengan isu "bagaimana dokter memilih obatyg benar" untuk terapi atas keluhan kesehatan pasiennya. Pemilihan obat yangbenar harus berdasarkan pada 5 elemen yaitu Safety (keamanan obat), Efficacy(efektivitas), Suitability (kesesuaian), Cost (biaya) dan Availability(ketersediaan). Dari uraian beliau, saya dapat mengambil kesimpulan bahwapuyer tentu saja tidak memenuhi kaidah2 di atas. Jadi wondering. Sayaberasumsi Profesor Rianto tentu mengajarkan ttg GPP ini dalam kuliah-kuliahfarmakologinya, tapi apa yang terjadi sehingga para dokter setelah luluseperti "lupa" dgn prinsip ini hingga tercebur dalam praktek peresepanberbasis template (yang sudah dibuat oleh senior2 mereka).Presentasi kemudian dilanjutkan oleh Dra. Ida Z. Hafiz, Apt.Msi (Dept.Farmasi FKUI). Yang menarik dari paparan beliau adalah pernyataanPenulisanresep dalam bentuk racikan yang terdiri campuran tablet paten/jadi kemudiandigerus dijadika sediaan puyer (atau dimasukkan ke dalam sirup) perlu untuksegera dikoreksi. Sebelum seminar saya melakukan sedikit browsing, danbetapa sulitnya menemukan data apapun mengenai puyer/pooier/pulveres di web.Jadi selama ini kita tertinggal ya, saat dunia kesehatan di dunia sudahpuluhan tahun meninggalkan puyer kita baru sebatas kaget/sadar bahwa puyeritu lebih banyak kerugiannya. Still a long long long way to go, begitu katadr. Purnamawati (Yayasan Orangtua Peduli/YOP) dalam presentasinya. Walaupundemikian bunda (bunda aja ya hehehe), menunjukkan kepada audience bahwakita mampu bergerak menuju ke sana, menuju kepada kondisi penggunaan obatyang rasional. Terbukti dengan meningkatnya upaya masyarakat dalam membekalidiri dengan pengetahuan kesehatan. Khalayak umum semakin mudah memperolehakses pengetahuan kesehatan tsb di era informasi dan transparansi saat ini.Ge-er mode onyg dimaksud bunda kita kan ^_^ Jadi SP'sayo kita belajarterus. Be smarter, praktekkan semua ilmu yg udah didapet dimilis/pesat/forum lainnya. Kita bantu dokter, kita bantu pemerintah ditengah kondisi pelayanan kesehatan yg ga jelas seperti sekarang ini.Sebenernya masih banyaaakk banget materi seminar hari ini, ada testimonikonsumen kesehatan, dokter di lapangan dll. Justru itu bagian yg paling serumenurut saya :) Semoga yang lain bisa menambahkan.Salam,Ria-bundaNaznin Dari Mila (azzura.veda@..............)sambung ceritanya Ria ya... Salah satu catatan penting dari seminar puyer ini adlh dari keterangan Prof. DR. dr Rianto Setiabudy, Sp.FK. Prof Rianto kasih presentasi dan keterangan-nya dengan simple tapi point2nya penting sekali. seingat saya (CMIIW ya, docs & SPs), kemarin beliau gak directly bilang, puyer gak boleh, tp beliau langsung kasih tau risk & benefit dari pemberian puyer. benefit-nya; 1. dosisnya sesuai dengan keperluan (dalam hal anak, sesuai dg BB anak) 2. murah 3. gak menakutkan krn pemberian beberapa jenis obat udh digerus jadi satu sachet - polifarmasi risk-nya: 1. stabilitas obat menurun 2. untuk beberapa obat, bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran krn proses penggerusan. salah satu obat yg beliau jadikan contoh, erythromycin. 3. salah peracikan karena human error. contoh dari kasus ini, misalnya ada obat dari jenis yg sama tapi punya merk dagang yg berbeda2. bisa jadi dokter kasih satu pasien 2 jenis obat yg sama dg merk dagang yg berbeda dalam satu sachet puyer. saya lupa contoh kasus/obat yg beliau sampaikan untuk kasus ini... 4. untuk obat yg jenisnya slow release bisa terjadi efek dumping apabila sudah dijadikan puyer. obat yg dimaksudkan untuk mulai bekerja secara perlahan, setelah dijadikan puyer malah jadi gak slow release lagi yg nantinya malah membahayakan pasiennya. lagi2 catatannya ketinggalan buat contoh obatnya. 5. kesalahan apotik dalam peracikan obat. untuk point ini, beliau kasih contoh pernah terjadi kasus pasien menerima puyer dari apotik dan setelah itu masuk rumah sakit. setelah ditelusuri ternyata di dalam puyer yg diterima dari apotik, obatnya tidak sama dengan obat yg diresepkan dokter pasien tsb. 6. proses penggerusan puyer ternyata tidak selalu dengan ditumbuk tetapi dg cara blending. ini bisa menjadi polusi untuk farmasis yg bertugas membuat puyer tsb. untuk point ini, saya gak punya bayangan blender sekecil apa ya yg dipakai apotik untuk blending. kebayang blender di rumah, kalo dipakai untuk blending bahan2 makanan dalam jumlah sedikit, pasti banyak yg ketinggalan di dalam blendernya. apalagi obat yg jumlahnya relatif sedikit ya. atau mungkin blending puyer di apotik, pakai alat lain ya? SPs yg farmasis, cerita dong soal ini... 7. kalaupun pembuatan puyer dengan cara digerus, akan ada obat yg menempel di mortir. akhirnya, puyer yg dikasih ke pasien, dosisnya udah gak sama lagi dg yg diresepin dokternya. 8. obat yg dalam proses pembuatan di pabriknya sudah melewati proses kerja yg steril, pd waktu mau dibuat puyer, dibuka kemasannya. akhirnya obatnya sudah tercemar. 9. interaksi antar obat akibat proses penggerusan puyer 10. kalau terjadi efek samping pd pasien akibat puyer, bingung mau cari tahu obat mana yg menimbulkan efek samping. kebayang kalo di dalam puyer ada 10 macam obat. mau cari tau efek sampingnya, dihilangin obatnya satu2. mau berapa lama akhirnya dokter & pasiennya tahu obat mana yg bawa efek samping? dari penjelasannya Prof Rianto yg super lengkap ini, akhirnya kejawab ya, perlu atau tidaknya puyer. tapi juga seperti dibilang dokter Moh Shahjahan dari WHO, masalah puyer & RUM ini perlu ada political commitment. yaa, kalau mengharapkan political commitment dari negara tercinta ini, bisa long long long long way to go ya... tetap optimis suatu hari nanti akan ada political commitment dari pemerintah. tapi sebelum itu ada, yuk kita sendiri aja dulu ya yg mulai..... SPs & Docs, tolong tambahin ya hasil catatan saya ini... salam, milaDari Samsul (samsulna@......)Seperti kata Ade pas sesi tanya jawab, kalo kita beli barang dan risk nya lebih buanyak dari benefitnya tentu sudah jelas bahwa kita akan menolaknya. tentang benefit puyer sebenarnya saya masih rancu : 1. Dosis : misalnya parasetamol, bukannya lebih akurat jika memakai yg sirup dan mengunakan pipet atau stringer karena jelas ada skala pada alat tersebut. Kalo pake puyer, sedikit banyak masih ada yg menempel pada kertas pembungkus. 2. Murah : bisa juga khan dokter memberi resep obat ( jika perlu ) sesuai dengan target lama pemberian. Tidak harus satu botol / kaplet dan jika sudah sembuh, sisa obat bisa disimpan. Entah lah , masih kabur maksud murah disini.. 3. Menakutkan. Yang mengetahui cara pemberian obat ke anak ya ortunya bukan dokter Ortu lebih tahu bagaimana cara membujuk anak, memberi tahu pentingnya obat dan menghilangkan kesan menakutkan terhadapnya dan ini sifatnya sangat individualistis, berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Sungguh tidak tepat jika karena alasan psikologis anak tersebut, dokter bertindak tidak rasional dengan mengubah bentuk obat dengan resiko yg segambreng tersebut. Belum lagi diartikel dr Ida Hafiz yg menyebutkan ada 20 alasan pratisi kedokteran yg tidak setuju peresepan puyer untuk anak. Tapi ada dokter yg sharing bahwa pasiennya yg anak, pernah muntah diberi obat sirup karena aromanya sehingga beliau mengganti dengan puyer. Trus dokter lainnya juga memberi puyer turun panas dicampur AB waktu anaknya sendiri demam karena khawatir kejang demam. gemes banget dengar jawaban2 yg tidak rasional tersebut.... pas mo pulang sempat ngobrol sedikit sama Prof. Rianto, dan beliau memang sangat konsisten untuk membenahi carut-marut perpuyeran walau mendapat tantangan & hambatan dari sana-sini. Jadi ngefans sama beliau....Dokters, diundang ke milis dong, imelnya apa ya.... thanks, samsul Dari aku :DNyambung ahh... Dari sekian pakar yang hadir.. dari pengamatan saya, cuma 2 yang benar-benar menyuarakan "TOLAK PUYER SEKARANG JUGA" yaitu Bunda kita tercinta Bunda Wati dan Prof Rianto (saya jadi ngefans juga nih Pak Samsul.. hehehe). Yang lainnya.. wah kalo saya nilai masih ngga berani menstate bahwa puyer itu gak ada keuntungannya. Dan yang menyedihkan alasan mengapa masih menerima puyer itu loh yang bikin gemes.. Yang katanya anak ngga mau makan sirup lah atau ngga ada sediaan obat untuk anak-anak (maka dariitu mereka menggerus puyer agar sesuai dengan BB anak). Justru masalahnya.. apakah anak-anak yang berobat ke dokter itu benar-benar membutuhkan obat??? Seperti Bunda bilang bahwa 80% masalah anak-anak itu cuma common problem dan Thanks God kita disini belajar gimana cara menangani common problem dengan treatment yang benar... Yang mostly akan sembuh sendiri tanpa obat..,, THANKS BUNDA... Thanks to milis saya berkesempatan hadir dalam seminar yang sangat edukatif dan juga lebih membuka mata saya lebar-lebar.. Hhhhhhh...(tarik nafas panjang) ternyata memang perjalanan kita masih panjang.. Dan saya bisa ambil kesimpulan dari diskusi kemarin.. Jika memang orang-orang yang kita harapkan ternyata tidak bisa merubah paradigma.. penyelewengan.. dan keadaan sekarang.. Maka sudah saatnya KITA sebagai KONSUMEN KESEHATAN yang harus bertindak. Yuk.. bergandengan tangan.. ajak semua orang untuk sama-sama menolak puyer sekarang juga!!! Semoga dunia kesehatan di Indonesia semakin baik.. Ada pernyataan Prof Mardiono yang cukup menggelitik saya .. "Kalau dokter pasiennya banyak.. artinya dia itu dokter yang cari duit.. Nah kalau sedikit.. itu dokter yang bener-bener memberikan konsultasi yang benar kepada pasien (seharusnya minimal kita konsultasi itu 15 menit)" hehehehe... TOLAK PUYER SEKARANG JUGA!!! -ida- Dari Lita (lita_mw@..........)Dear all,
saya cuma mo nambahin dikit berdasarkan hasil diskusi saya dengan
dr. Eddy (ketua IDI), Ibu Husna(YLKI), dr. Nilda (wakil dari
Depkes)... saya sempat bicara dengan beliau-beliau setelah seminar
usai karena ada pertanyaan yang masih belum terjawab....
saya menanyakan kemanakah kita bisa lapor bila kita tidak
mendapatkan informasi yang lengkap dari dokter mengenai penyakit
kita, obat-obat yang diberikan (baik puyer atau paten) serta efek
sampingnya... apakah ke YLKI atau ke IDI, ternyata dr. Eddy sangat
menyambut baik bila kita (konsumen kesehatan) mau berbagi pengalaman
mengenai hal ini dan adalah hak kita untuk mendapat informasi yang
selengkap mungkin dari seorang dokter.... untuk sharing
atau 'melaporkan' jasa layanan dokter yang kurang memuaskan (hallah
bahasanya..) kita bisa masuk ke web-nya IDI dan menulis di sana....
jujur saya belum coba buka web-nya ini dan bagaimana fasilitas
online untuk complaint ini....
semoga dengan para dokter yang mulai membuka diri, kita sebagai
konsumen kesehatan juga mendukung dengan memberi masukan-masukan
yang cerdas sehingga dunia kesehatan Indonesia menjadi semakin
baik....
Salam,
Lita M. Winarko
Dari
Sisil Dear all,
karena banyak mondar mandir, saya banyak kelewat diskusinya, tapi
sempet terekam dengan baik hasil scan resep2 yang ditampilkan oleh
para presenter. Sakit peruuuut banget waktu itu, merinding, mules2 deh
pokoknya. Pernah denger bunda cerita ada baby yang dikasih obat 15
macem untuk dijadiin satu puyer aja udah melongo, eh, kemarin salah
satu dokter cerita kalau ada yg dapat 57 macam obat untuk dijadikan puyer.
Selanjutnya, yang ini dari farmasis, ternyata, farmasis juga suka
sebel kalau baca tulisan dokter yang tidak terbaca. Trus ada ceritanya
nih, kalau ada seorang pasien yang dapat obat diabetes padahal
penyakitnya bukan itu, gara2 tulisan dokternya nggak jelas. Hasilnya?
sipasien pingsan habis minum obat dan setelah itu dia nggak pernah
bisa bekerja seperti semula. Duh, jadi harus saya inget2..kalau sampai
dapet resep dari dokter(mudah2an sih gak pernah...) saya harus tegas
minta dibacakan dan menulis ulang bila perlu(kalau dokternya emang
tulisannya jelek, nggak kebaca dan nggak mau nulis ulang). Paling
nggak, kalau dapet obatnya dari apotik kita bisa cek. Harusnya memang
gitu kok, kita boleh dan wajib tau baris perbaris resep yg dituliskan,
plus gim,ana cara kerja obat, efek samping dsb. Intinya, kudu rada
cerewet hehehe... dan kita baru bisa 'cerewet dengan ok' kalau kita
tahu cukup banyak. Untuk ini kita harus punya informasi dulu. Memang
akhirnya ya kita harus belajar juga untuk bisa go to tango.
Satu lagi, sediaan obat dibuat menjadi bentuk tertentu itu karena ada
tujuannya, misalnya, supaya obat ini akan larut di lambung sedikit
demi sedikit dalam kurun beberapa jam. Nah, bisa dibayangkan kalau
obatnya digerus jadi satu dan langsung larut di lambung sekaligus,
bukannya jadi seperti bom yah? Duh, ngeri ya...
Seminar ini langkah awal, paling tidak orang2 mulai ngeh kalau ada yg
nggak beres dengan puyer, yang selama ini dianggap sesuatu yg wajar.
Banyak berharap sama mahasiswa kedokteran yang ada di situ(tapi kalo
dosen2nya pada puyer mania ya susah juga deh...:()dan ada ketua YLKI.
Yah...namanya berharap...sambil kita sendiri terus belajar dan
membenahi diri, mudah2an bola saljunya bisa bergulir lebih besar.
Selamat dan sukses untuk dr Yoga dkk.
Salam,
Sisil
Perlu dibaca juga nih..
Tulisannya suaminya Ade Novita
http://arijuliano.wordpress.com/2008/05/03/kayaknya-perlu-standarisasi-teknis-penulisan-resep-deh-dok/
http://sisiliapa.multiply.com/journal/item/161/Berita_Pers_Puyer_Quo_Vadis
http://sisiliapa.multiply.com/journal/item/162